Tengok saja dua pimpinan PT Golden Trader Syariah Indonesia (GTIS), Micahel Ong dan Desmond Yap (keduanya dari Malaysia) yang menipu ribuan nasabah lewat skema investasi emas berbalut syariah, berhasil kabur setelah beroperasi hanya beberapa bulan. Perkara serupa yang dilakukan oleh CV Panen Mas dan PT Trimas Mulia masih menyisakan ketakpastian bagi para korban. Sejumlah nasabah telah mendatangi pihak kepolisian termasuk Direktorat Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya, akan tetapi penyelesian masalah masih juga kabur.
Regulasi Tak Cermat, Kasus Mandek di Tangan Aparat Hukum
Ratusan ribu korban, serta triliunan dana yang menguap tidak jelas seolah belum cukup penting bagi negara untuk segera meregulasi dan melindungi masyarakat dari pelaku investasi bodong. Para regulator masih terkesan saling lempar tanggung-jawab dengan dalih bahwa hal-hal tersebut diluar kewenangan mereka. Regulasi yang ada memang terkesan kurang antisipatif, adaptif dan tanggap terhadap perkembangan dunia aneka modus penipuan yang kini makin beragam, mulai dari yang sederhana sampai yang canggih di dunia maya.
Menurut penelusuran Kontan, sejumlah kasus penipuan yang terjadi selama ini mandek di tangan pihak aparat. Direktur CV Raihan Jewellery, Muhammad Azhari hanya dituntut setahun penjara, lalu diputus bebas oleh Hakim Pengadilan Negeri Surabaya pada tanggal 30 September 2013. Sementara pimpinan Gold Bullion Indonesia (GBI), Muhammad Fadzli dan istrinya Hessy Purwantie (komisaris), belum juga tersentuh aparat. Empat pimpinan GBI lainnya asal Malaysia telah melarikan diri.
Hampir semua perusahaan yang kemudian terbukti merupakan perusahaan investasi bodong, dilengkapi dengan surat-surat pendirian usaha yang sah seperti SIUP, TDP, NPWP. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pun termasuk salah satu instansi yang memberikan surat izin investasi. Akan tetapi perizinan ternyata sama sekali belum berimplikasi pada upaya melindungi hak masyarakat korban investasi bodong. Pengaduan masyarakat pun seakan salah alamat dan menyisakan ketakpastian.
Di sisi lain, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sebagai nama besar di industri investasi dan bisnis ternyata hanya meregulasi transaksi keuangan yang melibatkan lembaga keuangan resmi. Otoritas superbody ini belum menyentuh hal-hal mendasar untuk melindungi masyarakat luas dari berbagai potensi penipuan investai yang makin gencar dan canggih dan harus ditangani dengan lebih sigap. OJK baru gencar sebatas sosialisasi dan edukasi.
Kabar baik dari pihak Kementerian Perdagangan yang baru-baru ini menelurkan UU Perdagangan, baru menyentuh soal pelarangan penggunaan skema piramida (Ponzi) dalam jual beli barang dan jasa, tetapi tidak menyentuh sisi “investasi” karena memang diluar kewenangannya.
Regulasi dan kewenangan yang tak jelas, mengakibatkan saling lempar tanggung-jawab yang tak elok dipandang. Akibatnya, masih terdapat bolong besar di sisi regulasi “investasi” yang justru melibatkan masyarakat yang lebih luas. Belum lagi bila menyoal aneka modus penipuan online yang kini makin gencar menyedot uang dari Indonesia ke luar negeri. Bahaya ini sungguh nyata dan mengancam masyarakat.
Melibatkan Nama-nama Besar
Sulitnya menyelesaikan permasalahan penipuan bisa jadi karena keterlibatan asset yang demikian besar dan dapat menggoda siapa saja. Selain itu, sejumlah nama beken termasuk artis, politisi, sampai jajaran jenderal juga terlibat dalam bisnis bodong ini. Ada yang terlibat secara pribadi, ada pula yang terikut secara institusi.
Salah satunya adalah Yayasan Darmoadira yang merupakan yayasan bentukan para jenderal TNI Polri lulusan Akabri tahun 1976-1980 dikabarkan memiliki nota kesepahaman untuk kerjasama dengan PT Gold Bullion Indonesia. Kerjasamanya mulai dari pemberian bantuan hukum, pengadaan tenaga pengamanan sampai pembukaan anak cabang PT GBI di Padang. Sejumlah jenderal anggota yayasan ini pun menjadi investor PT GBI.
Namun demikian ketua Yayasan Darmoadira, Brigjen Pol. Mochammad Nasser Amir membantah bahwa keterlibatan yayasan yang dipimpinnya menyebabkan lambatnya pengusutan kasus ini. PAsalnya ia sendiri juga termasuk korban PT GBI. Nasser Amir dikabarkan menanam setidaknya Rp420 juta di PT GBI, hasil patungan keluarganya. Setidaknya 10 jenderal di Yayasan ini turut menjadi korban dengan jumlah investasi yang beragam.
Contoh di atas hanyalah satu. Di berbagai daerah, aneka penipuan investasi bodong lewat skema koperasi (kospin) juga tidak pernah terungkap tuntas. Ditengarai sejumlah aparat terlibat sekaligus ikut menjadi korban.
Sejumlah kasus lainnya masih mengambang, tersendat di meja penyidik. Harapan dan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum pun ikut mengambang.
Harapan pada Pemerintah
Untuk menyelesaikan kasus-kasus ini, pemerintah harus segera memperbaiki regulasi yang ada dengan mengambil posisi sebagai pelindung sekaligus pendidik bagi masyarakat. Bila wilayah abu-abu tidak segera diperjelas, bukan tidak mungkin daftar kasus penipuan makin panjang, demikian juga kerugian di kalangan masyarakat.
Berbicara tentang “investasi” bodong, harapan akhirnya mengerucut ke OJK untuk segera memperbaiki regulasi dan kapasitas agar permsalahan ini tidak terulang. Harapannya, OJK nantinya kira-kira seperti SEC (Securities and Exchange Commission) yang tak kalah sibuk dalam menangani kasus-kasus tipuan investasi dan ponzi yang tak kalah marak di kalangan masyarakat Amerika.
Untuk saat ini, tidak ada yang bisa melindungi masyarakat selain diri sendiri. Perluas wawasan, dan jangan mudah tergoda oleh tawaran bisnis atau investasi yang terlihat mudah dan (katanya) membawa keuntungan besar dalam waktu singkat.
0 komentar:
Posting Komentar